Konten Lokal akan Diuntungkan dengan Analog Switch Off

Meskipun diliputi pro dan kontra, migrasi penyiaran TV dari analog ke digital atau analog switch off (ASO) dinilai membuka peluang besar bagi pemberdayaan stasiun siaran lokal. Dampaknya, warga DIY akan memiliki lebih banyak pilihan konten di televisi sekaligus membuka ruang bagi konten-konten kedaerahan yang sesuai dengan budaya Yogyakarta. 

Fakta tersebut terungkap dalam diskusi publik “Analog Switch Off dan Peluang Penyiaran Lokal” yang diadakan Program Studi Ilmu Komunikasi UNY bekerjasama dengan KPID DIY dan RBTV, Selasa (29/11).  

Ketua Komisioner KPID DIY, Dewi Nurhasanah menjelaskan migrasi penyiaran digital ini membuka peluang untuk melahirkan lebih banyak stasiun televisi dan radio. Dia mencatat sebelum ASO, warga DIY bisa mendapatkan 14 stasiun televisi. Namun sejak migrasi digital saat ini sudah ada 32 saluran televisi.

“Jumlah itu kami perkirakan bisa naik jauh lebih banyak lagi, kami memperkirakan bisa sampai lima kali lipat dari stasiun televisi sebelum migrasi digital,” kata dia.

Dengan jumlah yang besar itu, bukan tidak mungkin akan lahir stasiun-stasiun lokal yang bisa menawarkan konten yang lebih spesifik. Masyarakat pun bisa mendapatkan konten sesuai dengan apa yang diminatinya. Peluang itu juga didukung dengan Perda DIY Nomor 13/2016 yang mengatur seluruh lembaga penyiaran yang beroperasi di DIY untuk mengalokasikan 10% waktu siaran per harinya untuk siaran bermuatan lokal DIY.

“Memang belum berjalan sempurna. TV nasional yang bersiaran di DIY beberapa masih belum memenuhi aturan ini, namun untuk TV lokal aturan ini sudah terpenuhi,” kata Dewi. 

Sementara, Direktur RBTV Wahyu Sudarmawan mengatakan minat masyarakat DIY terhadap konten lokal sebenarnya sangat tinggi dan loyal. Dia mencontohkan program-program di stasiun televisi yang dikelolanya selalu berhasil mendapatkan atensi yang baik. Namun selama ini belum banyak yang berhasil mengelola lokalitas ini dalam konten yang menarik. “Padahal persaingan sekarang itu ada pada konten, bukan mediumnya lagi,” ujar Mawan. 

Karena alasan itu, Mawan menjelaskan saat ini stasiun televisi harusnya tidak lagi terpaku pada cara bersiaran, melainkan juga mengeksplorasi berbagai upaya baru dalam beriaran. “Misalnya pakai internet dalam bentuk streaming atau layanan on demand,” tambahnya.

Dosen Ilmu Komunikasi UNY Gilang Jiwana Adikara menilai konten lokal kedaerahan di stasiun televisi masih sangat kurang. Sebagai gambaran dari 32 televisi yang saat ini bersiaran secara digital mayoritas masih merupakan televisi yang berbasis di Jakarta. Hal ini membuat informasi yang diterima warga DIY tertutup dengan informasi dari Jakarta. 

“Istilahnya jadi jakartasentris. Kita lebih mudah dapat kabar dari Jakarta daripada dari Jogja. Padahal banyak informasi dan konten dari DIY yang diperlukan masyarakat,” kata dia. 

Senada dengan Dewi dan Mawan, Gilang berharap akan lebih banyak lembaga penyiaran lahir dari ASO ini. Terutama lembaga-lembaga penyiaran lokal dan komunitas. “Semoga ke depan akan ada semakin banyak media lokal lahir. Lalu muncul juga media komunitas, karena mereka ini sebenarnya yang paling dekat dengan kebutuhan komunitas di tempat siaran masing-masing,” tuturnya. 

Pengabdian Masyarakat
Diskusi publik ini adalah program pengabdian masyarakat (PPM) yang diadakan Universitas Negeri Yogyakarta. Ketua tim (PPM) Ilmu Komunikasi UNY Wuri Handayani mengatakan, topik ASO ini adalah topik yang saat ini sedang hangat. Selain itu masih banyak yang belum memahami soal revolusi penyiaran ini sehingga sosialisasi dan diskusi semacam ini perlu dilakukan. 

“Harapannya acara ini bisa memberikan gambaran terhadap masyarakat DIY khususnya tentang perubahan di dunia penyiaran ini,” kata dia. (*)